Kolonialisme 4.0

kolonialisme 4.0

Modernis.co, Malang – Kalau kita berbicara soal kolonialisme, mungkin dalam pikiran kita yang tercetus pertama adalah penjajahan dimana sebuah negara menguasai rakyat dari sumber daya negara lain, tetapi masih tetap berhubungan dengan negara asal.

Namun saya tidak membahas secara definisi karena ada sebuah pasal karet yang perlu kita kaji dalam teori konspirasi di era globalisasi, karena pasal yang disahkan oleh polri untuk dikhususkan pada  pemerintah sekarang hampir sama dengan cara yang lakukan pemerintah jaman Hindia-Belanda guna membungkam suara rakyat.

Rekonstruksi dari pemerintah diam-diam telah melakukan sebuah manuver politik di tengah pandemi yang semakin hari semakin naik status level nya, jika ada masyarakat yang terbukti telah mengkritik pemerintahan termasuk presiden Joko Widodo dapat diancam pidana apabila secara subjektif dinilai telah melakukan penghinaan.

Hal ini dapat tertuang di dalam Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditandatangani Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo tertanggal 4 April 2020, sesuai dengan pasal 207 KUHP. Maka, penghinaan itu bisa terancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.

Nah, di  dalam pasal tersebut berbunyi “Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadapan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Sebenarnya secara empiris dalam masyarakat mayoritas pun tidak menghina secara personal, mereka melancarkan kritik, menghina maupun mencaci itu bentuk sebuah refleksi dari konsep sistem demokrasi atas kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang telah memberikan dampak kurang baik bagi negara.

Setiap pengambilan kebijakan selalu tumpang tindih, antara menteri, jubir, tenaga ahli KSP, dari pemerintah pusat untuk ke daerah, bahkan presiden. problematikanya adalah ketika penguasa merasa terhina atas kritik keras yang dilancarkan oleh masyarakat.

Maka, pasal ini akan berubah menjadi pasal karet untuk menjerat rakyat yang bersangkutan dan terbukti bahwa kekuasaan tidak mampu menghadirkan dirinya sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat, lalu menghasilkan pemerintah yang lebih represif dan otoriter. Lalu apa beda nya dengan jaman kolonialisme? Mungkin akan sedikit saya jelaskan secara garis historis.

Di kota yang sekarang bernama Jakarta, sebuah peraturan baru pernah diberlakukan gubernur jendral Hindia-Belanda, tepatnya pada tanggal 15 Maret 1914, peraturan itu di kenal dengan nama “Haatzaai Artikelen”atau artinya pasal-pasal hinaan, bunyi nya begini;

“Barang siapa menyulut atau membangkitkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah hindia belanda dengan kata-kata, tanda-tanda atau tingkah laku atau cara-cara lain akan dihukum, barang siapa menyulut atau membangkitkan perasaan bermusuhan, kebencian atau penghinaan di anatara berbagai golongan di kalangan warga negara Belanda atau penduduk hindia belanda akan dihukum”.

Peraturan itu merupakan hasil dari serangkain surat-menyurat rahasia di antara gubernur jenderal di Batavia dan menteri negara urusan kolonial di kota Den Haag Belanda. Hampir setahun sebelumnya sang menetri menegaskan perlunya tindakan tegas terhadap usaha-usaha yang “mendiskreditkan niat baik pemerintah” (surat tertanggal 2 juni 1913).

Surat menyurat itu pernah dibahas dengan menarik oleh Henk Maier tahun 1991, guna mempertahankan kekuasaan kolonial agar tidak di sentuh oleh siapa pun.

Jika kita pahami pasal-pasal penghinaan itu hampir sama dengan apa yg diterbitkan oleh surat kapolri di atas, jika pemerintah sekarang lebih mengincar penghina lewat sosial media maka zaman kolonialisme mengincar pers nasionalis yang pada waktu itu baru kena demam perjuangan kemerdekaan, boleh jadi pers pada waktu itu tak sehebat yang dikawatirkan negara.

Tetapi, itu tidak penting yang jelas mereka melahirkan hantu-hantu yang membuat pejabat pemerintah menderita kala itu, karena dengan pasal penghinaan tersebut birokrat pada zaman dulu mampu membungkam dan menindas mereka yang menentang kolonialisme.

Maka, antara kolonialisme dengan sistem demokrasi di era kabinet “Indonesia Maju” tidak jauh berbeda. Secara rasional pun pemerintah sepertinya tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alamnya saja, melainkan masyarakat nya pun dibungkam agar tidak mengkritik, menghina dan mencaci.

Itulah cara pemerintah kolonialisme maupun otoritarianisme untuk melanggengkan kekuasaan. Demokrasi hari ini dibungkus rapi menjadi otoriter dengan sangat praktis, karena pelan-pelan akan memperlihatkan wujud aslinya, pada akhirnya itulah legecy yang akan ditulis sejarah bahwa presiden Joko widodo telah mewariskan pemerintah yang lebih mengutamakan pendekatan secara hukum dan militeristik.

Seharusnya kewajiban dari negara demokrasi saling gotong royong, saling memberi masukan satu sama lain guna memberikan rasa aman pada masyarakat di tengah virus Covid-19, bukan malah fokus untuk menghukum rakyat.

Oleh: Rasongko Singgih Samiarto (Mahasiswa FISIP, Ilmu Pemerintahan. Universitas Muhammadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment